Cryptoharian – Bitcoin (BTC) kembali ke harga lima digit pada akhir pekan lalu, turun hampir 10 persen dari rekor tertingginya di US$ 110.000. Meskipun permintaan institusional tetap kuat para analis memperingatkan bahwa koreksi ini bisa berlanjut hingga Juli, mengikuti pola yang berulang setiap tahun.
Benjamin Cowen, analis pasar kripto yang dikenal dengan pendekatan siklus historis, menyebut bahwa Bitcoin (BTC) cenderung mulai melemah sekitar pertengahan Juni, saat tekanan khas kuartal ketiga mulai terasa.
“Pola ini sudah mencul beberapa kali sejak 2017, dan sekarang sedang terulang kembali,” ungkap Cowen.
Tren Q3: Koreksi Musiman yang Konsisten
Sejumlah analis lain mengunggah grafik yang menujukkan penurunan besar di bulan Juni dan Juli pada tahun-tahun bull market sebelumnya, sebelum harga kembali melonjak di kuartal keempat.
- Tahun 2017: BTC jatuh 35 persen dari Juni ke Juli, lalu melesat ke ATH di Desember.
- Tahun 2019: Penurunan 27 persen di periode yang sama.
- Tahun 2021: Koreksi 25 persen di tengah bull run.
- Tahun 2022 dan 2024: Masing-masing turun 38 persen dan 21 persen selama musim panas.
Jika tren ini berulang, penurunan 30 persen dari level tertinggi Juni (US$ 110.000) bisa mendorong harga Bitcoin turun hingga ke bawah US$ 80.000 sebelum akhir Juli.
Analis chart kawakan Peter Brandt, bahkan mengidentifikasi pola yang ia sebut ’empat ayam jago merah’, deretan candle merah besar yang menandakan percepatan tren turun.
Baca Juga: Iran Matikan Jalur Minyak Dunia, Bitcoin Anjlok Seketika
Sinyal Teknis
Melansir dari cryptopotato.com, Bitcoin menutup pekan lalu di bawah level support penting US$ 104.400, yang sebelumnya berhasil dipertahankan selama berminggu-minggu. Analis teknikal bernama ‘Rekt Capital’ menyebut BTC sudah di ambang breakdown besar jika tidak segera pulih.
Harga sempat menyentuh US$ 98.480 pada Minggu sebelum naik ke kisaran US$ 102.000 pada saat artikel ini ditulis. Namun secara mingguan, BTC masih mencatatkan penurunan 8 persen dari puncaknya di awal Juni.
Geopolitik dan Inflasi Tambah Tekanan
Sementara itu, situasi geopolitik turut memperburuk sentimen pasar. Iran dilaporkan mencoba menutup Selat Hormuz, jalur utama ekspor minyak global. Hal ini memperkuat kekhawatiran atas potensi konflik yang lebih luas di Timur Tengah.
Michael van de Poppe, pendiri MN Fund, menyebut eskalasi ini sebagai kapitulasi.
“Selama situasi ini terus berlangsung, tidak ada tanda-tanda bahwa aset beresiko seperti Bitcoin dan altcoin akan pulih,” ujarnya.
Pasar juga bersiap menghadapi minggu yang sangat fluktuatif dengan rilis laporan inflasi AS yang bisa memengaruhi kebijakan suku bunga. Ketidakpastian global membuat investor cenderung menghindari risiko, termasuk di pasar kripto.
Sebelum memutuskan untuk berinvestasi pada mata uang kripto, senantiasa lakukan riset karena kripto adalah aset volatil dan berisiko tinggi. Cryptoharian tidak bertanggung jawab atas kerugian maupun keuntungan anda.